Wes Anderson kembali menorehkan gaya khasnya yang eksentrik dan penuh warna melalui film The French Dispatch (2021). Film ini bukan sekadar tontonan biasa; ia adalah perayaan seni, jurnalistik, dan sinema itu sendiri. Bagi para penikmat sinema arthouse dan penggemar Anderson, The French Dispatch adalah bentuk eksplorasi mendalam tentang cerita-cerita kecil yang dibalut dalam bingkai visual yang sangat ikonik.
Sebuah Surat Cinta untuk Dunia Jurnalistik
The French Dispatch mengambil latar di kota fiktif Ennui-sur-Blasé, Prancis, yang menjadi rumah bagi kantor redaksi The French Dispatch, cabang luar negeri dari koran fiksi Liberty, Kansas Evening Sun. Film ini disusun sebagai antologi yang terdiri dari beberapa cerita pendek, layaknya edisi terakhir sebuah majalah sastra.
Narasi utamanya terbagi dalam empat bagian: pengantar oleh Herbsaint Sazerac (Owen Wilson), diikuti tiga cerita utama – “The Concrete Masterpiece,” “Revisions to a Manifesto,” dan “The Private Dining Room of the Police Commissioner.” Masing-masing bagian ditulis dan “diceritakan kembali” oleh para jurnalis dari kantor tersebut. Inilah cara Wes Anderson memberikan penghormatan kepada dunia jurnalistik cetak yang perlahan menghilang.
Visual yang Unik, Gaya yang Konsisten
Tidak ada sineas modern yang seikonik Wes Anderson dalam hal estetika visual. Kamera yang statis, komposisi simetris, warna pastel, serta gerakan dolly dan tracking shot yang presisi menjadi identitas kuat yang tidak bisa dipisahkan dari setiap karyanya. Di The French Dispatch, Anderson seperti tidak lagi menahan diri. Setiap frame bisa dicetak menjadi lukisan.
Menariknya, film ini tidak hanya bermain dengan warna, tetapi juga dengan transisi hitam-putih dan animasi yang memberikan nuansa unik di tiap segmen. Pemilihan format aspect ratio yang berubah-ubah pun memperkuat sensasi bahwa kita sedang membaca majalah visual, halaman demi halaman.
Cerita di Balik Cerita
Masing-masing kisah dalam film ini memiliki gaya dan nada yang berbeda, mencerminkan genre jurnalistik yang menjadi inspirasinya:
-
“The Concrete Masterpiece” menceritakan seorang seniman narapidana (Benicio del Toro) dan kurator seni yang eksentrik. Kisah ini menggambarkan betapa absurd dan megahnya dunia seni rupa modern, dibumbui dengan humor satir khas Anderson.
-
“Revisions to a Manifesto” mengisahkan mahasiswa revolusioner (Timothée Chalamet) yang tengah bergelora dalam semangat perlawanan. Artikel ini jelas merupakan sindiran pada gaya penulisan New Journalism, dengan kisah cinta dan politik yang kompleks.
-
“The Private Dining Room of the Police Commissioner” merupakan kombinasi aneh antara cerita detektif dan kuliner. Kisah ini menjadi puncak keeksentrikan, dengan kejar-kejaran, penyelidikan, dan bahkan adegan animasi.
Meskipun ketiga cerita ini terpisah secara naratif, mereka terikat oleh benang merah yang sama: cara jurnalis menulis dan memaknai dunia di sekitarnya.
Ensemble Cast: Parade Aktor Terbaik
Salah satu kekuatan utama The French Dispatch adalah jajaran aktornya. Anderson mengumpulkan aktor-aktor kenamaan dalam satu film, dari Bill Murray, Frances McDormand, Tilda Swinton, Adrien Brody, hingga nama-nama baru seperti Chalamet. Setiap aktor tidak diberi ruang panjang, namun mereka tampil maksimal dalam waktu singkat – persis seperti kolom dalam majalah yang padat namun tajam.
Bill Murray sebagai editor Arthur Howitzer Jr. tampil sebagai figur bijak yang menjadi jantung emosional film ini. Ia tidak hanya mewakili pemimpin redaksi, tetapi juga sosok ayah, guru, dan penjaga nilai-nilai jurnalistik klasik.
Musik, Bahasa, dan Detil yang Memikat
Seperti film-film sebelumnya, Alexandre Desplat kembali mengisi skor musik dengan komposisi orisinal yang mendukung atmosfer film. Nada-nada piano lembut, gesekan biola melankolis, dan sentuhan musik Prancis klasik membuat setiap adegan terasa seperti dongeng elegan.
Anderson juga memperkaya film ini dengan penggunaan bahasa Prancis dalam beberapa bagian dialog, menghadirkan suasana otentik dari kota fiktif tempat cerita berlangsung. Kombinasi antara bahasa, arsitektur set, dan kostum menjadikan dunia The French Dispatch terasa hidup dan sangat terkurasi.
Kritik dan Apresiasi
Walau mendapat banyak pujian atas kekayaan visual dan keunikan naratifnya, The French Dispatch bukan film yang cocok untuk semua orang. Beberapa kritikus menyebut film ini terlalu padat, terlalu bergaya, bahkan membingungkan karena struktur antologinya. Namun, justru di situlah daya tariknya – film ini tidak berusaha menjadi narasi sinematik konvensional, melainkan pengalaman imajinatif.
Bagi mereka yang mencintai detail, dialog cerdas, dan struktur naratif yang eksperimental, The French Dispatch adalah surga sinematik. Namun, bagi penonton kasual, film ini mungkin terasa seperti museum yang terlalu banyak ruangan, dengan setiap sudut menuntut perhatian penuh.
Kesimpulan: Karya Cinta dan Eksperimen Visual
The French Dispatch adalah surat cinta Wes Anderson untuk dunia jurnalisme, seni, dan film itu sendiri. Ia memadukan berbagai elemen dalam satu paket visual yang memukau dan kaya makna. Film ini bukan hanya hiburan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap kreativitas dan kebebasan berekspresi.
Jika kamu mencari film dengan plot lurus dan mudah dicerna, mungkin ini bukan pilihan tepat. Tapi jika kamu ingin merasakan sensasi membaca majalah sastra dengan halaman-halaman yang hidup dalam bentuk film, maka The French Dispatch adalah karya yang wajib kamu nikmati.
Baca juga : Plot “Inception” – Memahami Dunia Mimpi dalam Sebuah Permainan Pikiran